WELCOME !

HAVE FUN !

Jumat, 22 April 2011

Coordinated Management of Meaning (CMM)

Banyak orang menganggap percakapan mereka sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya. Ketika orang berbicara satu sama lain, mereka seringkali mengikuti pola yang dapat ditebak dan mereka bergantung pada norma sosial yang ada. Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori manajemen makna terkoordinasi.
Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia sosial kita, kita menggunakan berbagai aturan untuk mengkonstruksi dan mengkoordinasikan makna. Maksudnya, aturan-aturan membimbing komunikasi yang terjadi diantara orang-orang. CMM berfokus pada relasi antara individual dengan masyarakatnya. Melalui sebuah struktur hirarkis, orang-orang mengorganisasikan makna dari beratus-ratus pesan yang diterima dalam sehari.
Menurut West dan Turner, terdapat 3 asumsi yang melatarbelakangi diskusi manajemen makna terkoordinasi (CMM). Asumsi pertama adalah bahwa manusia hidup dalam komunikasi. Asumsi diatas berarti manusia tidak dapat lepas dari kegiatan komunikasi serta proses pemaknaan peran dari kegiatan komunikasi tersebut.
Asumsi kedua adalah bahwa manusia saling menciptakan realitas sosial. Realitas sosial merujuk pada pandangan seseorang mengenai bagaimana makna dan tindakan sesuai dengan interaksi interpersonalnya.
Asumsi ketiga berkaitan dengan cara orang mengendalikan percakapan. Dalam suatu percakapan antara satu individu dengan individu lain, terdapat satu pelaku yang bersifat sebagai pengendali percakapan. Pada dasarnya transaksi informasi tergantung pada makna pribadi atau makna yang didapat seorang dari pengalaman-pengalaman masa lalunya, serta makna interpersonal.
Manajemen makna terkoordinasi diorganisasikan dengan menggunakan hierarki makna. Para teoretikus CMM mengemukakan enam level makna : isi, tindak tutur, episode, hubungan, naskah kehidupan, dan pola budaya. Tiap tipe berakar pada tipe yang lain. Hierarki makna ini bukan merupakan sebuah system pengurutan yang pasti tapi merupakan sebuah model.
Level isi (content) merupakan langkah awal di mana data mentah dikonversikan menjadi makna. Level makna yang kedua adalah tindak tutur. Pearce mendeskripsikan tindak tutur (speech acts) sebagai tindakan-tindakan yang kita lakukan dengan cara berbicara. Tindak tutur menyampaikan niat pembicara dan mengindikasikan bagaimana komunikasi harus dijalankan. Level makna yang ketiga adalah episode. Episode adalah rutinitas komunikasi yang memiliki awal, pertengahan, dan akhir yang jelas. Level makna yang keempat adalah level hubungan (relationship). Hubungan adalah kesepakatan dan pengertian antara dua orang. Selanjutnya adalah naskah kehidupan. Naskah kehidupan adalah kelompok-kelompok episode masa lalu atau masa kini yang menciptakan suatu sistem makna yang dapat dikelola bersama dengan orang lain. Yang terakhir adalah pola budaya. Pola budaya (cultural pattern) atau arkeotip adalah gambaran mengenai dunia dan bagaimana hubungan seseorang dengan hal tersebut.
Contohnya, ketika dua orang berkenalan di kelas yang baru dan mereka saling menyebutkan nama, sebagai contoh “nama saya Siti” orang lain tersebut menangkap “nama saya Siti” sebagai isi. Setelah itu kedua orang tersebut memasuki level tindak tutur dengan percakapan. Seiring dengan intensitas bertemu terjalinlah rutinitas komunikasi antara mereka berdua, dan itulah yang disebut sebagai episode. Dengan berjalannya waktu mereka lebih saling mengenal antara satu dengan yang lainnya sehingga terjalinlah suatu hubungan. Setelah mereka berinteraksi dalam waktu yang lama mereka berdua akan mengalami proses dimana ada keceriaan yang mereka ciptakan, adanya masalah yang muncul antara mereka dan pada akhirnya mereka memunculkan realitas social diantara mereka dan mereka secara terus menerus menciptakan naskah kehidupan. Semenjak pertemanan mereka tersebut mereka akan memebentuk suatu pola budaya dimana mereka akan mengerti budaya dari masing – masing sehingga terciptanya suatu pengertian antara mereka dalam bersikap antara satu dengan lainya. Saat mereka berbagi pengalaman tentang jati diri mereka dan melewati episode-episode dalam hubungan mereka bersama-sama, mereka telah menyusun naskah kehidupan mereka yang berisikan pengalaman mereka. Sistem hubungan pertemanan mereka tersebut juga menciptakan pola pertemanan.
Saat dua orang memasuki percakapan mereka berusaha untuk mengartikan pesan – pesan yang berurutan. Usaha untuk mengartikan pesan – pesan yang berurutan tersebut disebut koordinasi. Ada tiga hasil yang muncul ketika dua orang sedang berbincang yang pertama mereka mencapai koordinasi, dimana dalam percakapan tersebut dua orang tersebut memiliki pemahaman yang sama. Kedua mereka tidak mencapai koordinasi, maksudnya adalah kedua orang tersebut memiliki interpretasi yang berbeda mengenai apa yang dikatakan satu sama lain. Terakhir mereka mencapai koordinasi pada tingkat tertentu, dimana kedua orang tersebut memiliki interpretasi yang berbeda namun pada akhirnya mereka menemukan suatu pemecahan dari bahasan mereka melalui proses kompromi.
Koordinasi dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu moralitas dan ketersediaan sumber daya. Dalam hal ini moral terdiri atas etika dimana etika merupakan bagian yang intrinsik dalam setiap alur percakapan. Sedangkan ketersediaan sumber daya juga memberikan pengaruh terhadap proses koordinasi. Contohnya dua sahabat yang memiliki ketertarikan akan hal yang berbeda, misalkan si A senang terhadap sepakbola, secara tidak langsung dia memberikan simbol melalui baju tim kesukaannya,poster – poster,dll.  Simbol – simbol tersebut yang dinamakan sumber daya, saat sahabatnya melakukan interaksi dengan si A dia akan menyesuaikan topic percakapannya dengan hobi sahabatnya tersebut sehingga terjadi koordinasi yang baik dalam satu episode percakapannya.
Dalam CMM  terdapat aturan dan pola yang tidak diinginkan, karena komunikasi tidak selalu menjadi hal yang mudah dilakukan. Ada dua tipe aturan, yaitu adalah aturan konstitutif dan regulative.  Aturan konstitutif adalah merujuk pada bagaimana perilaku harus diinterpretasikan dalam suatu konteks. Dengan kata lain, aturan konstitutif  memberitahukan kepada kita apa makna dari suatu perilaku tertentu. Contohnya, saat seorang yang berasal dari Jawa Timur menyapa teman sesama daerahnya. Biasanya mereka mengatakan,”piye kabarmu cuk!”. Kata ‘cuk’ dimaksudkan untuk lebih mengakrabkan keduanya, meskipun kata tersebut tergolong kata kasar. Bila kata tersebut digunakan kepada orang lain, maka akan menimbulkan pemahaman yang berbeda, dimana kata-kata tesebut memiliki maksud mencela.
Aturan yang kedua adalah aturan regulatif, yaitu merujuk pada aturan tindakan  yang dilakukan oleh seseorang, dan menyampaikan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam sebuah percakapan. Misalnya, seorang tamu biasanya  tidak akan bertamu  pada malam hari karena dia mengerti akan aturan regulative, dimana dia seharusnya berperilaku..Sedangkan pola berulang yang tidak diinginkan adalah episode konflik yang berurutan yang terjadi berulang kali yang sering kali tidak diinginkan terjadi oleh individu yang terlibat dalam konflik. Para peneliti menjelaskan bahwa pola berulang yang tidak diinginkan ini terjadi karena dua orang memiliki sistem aturan berbeda dan mengikuti masing-masing sistem yang mereka yakini sehingga terjadi konflik berulang karena tidak ada titik temu dalam dua sistem aturan tersebut.  
Didalam hierarki terdapat beberapa level terendah yang dapat direfleksikan ulang dan mempengaruhi makna dari level – level yang lebih tinggi. Pearce dan Cronen menyebut proses berefleksi ini sebagai rangkaian atau loop. Dimana terdapat dua rangkaian yaitu rangkaian seimbang dan tidak seimbang. Ketika rangkaian berjalan dengan konsisten melalui tingkatan – tingkatan yang ada dalam hierarki Pearce dan Cronen menyebutnya sebagai rangkaian seimbang. Sedangkan rangkaian tidak seimbang adalah terjadi pada saat beberapa episode dapat menjadi tidak konsisten dengan level – level yang tinggi dalam hierarki yang ada.
Jadi CMM adalah teori yang membantu kita agar dapat memahami dengan lebih mendalam bagaimana individu – individu saling menciptakan makna dalam percakapan. Bahkan teori ini membantu kita untuk memahami pentingnya aturan dalam sebuah situasi sosial. 

sumber :

West, Richard dan Lynn Turner. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. 2008. Jakarta: Salemba Humanika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar