Jurnalistik atau Jurnalisme berasal dari kata journal, artinya catatan harian atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal dengan publisistik. Aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau peristiwa yang sedang terjadi. Jurnalisme meliputi beberapa media yaitu koran, televisi, radio, majalah, surat kabar, dan internet sebagai pendatang baru (http://id.wikipedia.org/wiki/Jurnalisme).
Sebelum adanya pers, komunikasi hanya berlangsung secara lisan dari mulut ke mulut. Akan tetapi, penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg memicu berdirinya penerbitan media massa. Sejak itulah media massa menjadi salah satu alat komunikasi yang sering dipakai untuk mengabarkan berita atau peristiwa penting yang sedang terjadi.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit. Pada masa pendudukan Jepang, Jepang mengambil alih kekuasaan dan koran-koran tesebut dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit, yaitu Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Kegiatan jurnalisme saat ini diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan oleh Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.
Jurnalisme di Indonesia pernah mengalami masa-masa keterpurukan. Pada saat kekuasaan presiden Soeharto, demokrasi seolah-seolah dibungkam. Pemerintahan dijalankan secara otoriter. Pada masa ini, media massa diawasi secara ketat oleh pemerintah. Kebebasan pers sangat dibatasi. Kasus pembredelan media massa pun banyak yang terjadi. Media massa yang tidak sejalan dengan pemerintah atau melawan pemerintah akan ditutup. Kasus majalah Tempo dan harian Indonesia Raya menjadi contoh konkret kejamnya pemerintahan Soeharto pada saat itu. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya Aliansi Jurnalis Independen yang dideklarasikan di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Sayangnya, beberapa aktivis dari Aliansi Jurnalis Independen ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat Soeharto mundur dari pemerintahan dan BJ Habibie menggantikan pemerintahannya. Banyak media massa yang kemudian muncul dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi yang ada di Indonesia. Jurnalisme di Indonesia kemudian mulai berkembang pesat.
Berkembangnya media, diikuti dengan munculnya berbagai macam aliran dan bentuk jurnalisme. Beberapa aliran jurnalisme itu antara lain watchdog journalism, precision journalisme, dan muckracking journalism. Salah satu aliran jurnalisme yang khas yang berkembang sekarang ini adalah jurnalisme damai. Jurnalisme damai merupakan proses penciptaan kultur jurnalisme baru, yang memungkinkan pers bertahan di tengah-tengah konfigurasi politik otoriter.
Aliran Peace Journalism atau Jurnalisme Damai dikembangkan oleh Johan Galtung, seorang profesor di bidang ilmu damai European Peace University. Istilah Jurnalisme Damai pertama kali dipakai pada tahun 1970. Aliran ini berawal dari niat baik Galtung untuk mencari salah satu solusi dari perang dan konflik.
Aliran ini mengedepankan pada wartawan yang meliput konflik agar cenderung mengedepankan sisi-sisi humanis dari konflik itu sendiri. Mengedepankan sisi-sisi humanis merupakan ciri khas dari Jurnalisme Damai. Jurnalisme damai meletakkan nilai yang menempatkan manusia dan kemanusiaan pada posisi sentral pemberitaan. Nilai yang dimaksud menjadi acuan para insan pers dalam mengumpulkan fakta, menulis berita, menyunting, serta menyiarkan berita.
Dewasa ini, jurnalisme damai hangat dibicarakan oleh kalangan publisistik. Jurnalisme damai menjadi salah satu alternatif peliputan konflik oleh jurnalis. Perkembangan dunia tidak pernah sepi dari perang, konflik, dan pertikaian. Ketika meliput konflik, terkadang wartawan tidak melihat konflik secara menyeluruh. Berita yang dipublikasikan pun cenderung tidak seimbang dan menyudutkan salah satu pihak. Pemberitaan terhadap sesuatu hal yang menyudutkan orang lain atau salah satu pihak sangat rentan memicu terjadinya kekerasan. Obyek pemberitaan yang merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut akan mencari tahu siapa yang menulis berita tersebut. Bahkan ujung-ujungnya justru akan berakibat fatal pada media dan penulis itu sendiri.
Fungsi pers bukanlah sebagai sebuah pembenar untuk memvonis seseorang atau suatu kelompok. Pers hanya sebagai alat kontrol sosial, bukan sebagai alat pembenar. Oleh karena itu, penghakiman melalui media pers harus dihilangkan sehingga pemberitaan bukan menjadi sarana untuk menciptakan dan melanggengkan konflik.
Para pembaca, pemirsa, dan pendengar sudah mulai jenuh dengan berita kekerasan dan konflik yang ditampilkan tidak seimbang. Akhir-akhir ini banyak sekalio liputan media di Indonesia yang lebih mengedepankan sensasi dan amarah daripada fakta dan kesejukan demi mengejar rating dan iklan. Akibatnya, pembaca maupun pemirsa menjadi terprovokasi untuk berpikir negatif. Alternatifnya, masyarakat beralih pada membaca berita yang sejuk dan mengedepankan nilai-nilai humanis. Oleh karena itu, jurnalisme damai menjadi salah satu alternatif pemberitaan konflik. Karena fungsi jurnalisme damai adalah menggali akar persoalan dan mencari sisi-sisi lain yang mengakibatkan orang lain menderita tanpa harus terjebak pada kepentingan pihak tertentu.
Salah satu jurnalis di negeri ini yang menawarkan jurnalisme damai adalah Jakob Oetama, pemimpin umum harian Kompas dan Chief Executive kelompok Kompas-Gramedia. Dia adalah salah satu raksasa jurnalis yang berhasil membuka horizon pers yang benar-benar modern, bertanggung jawab, nonpartisan, dan memiliki perspektif jauh ke depan. Ia juga telah memberikan pengaruh tertentu kepada kehidupan pers di Indonesia.
Menurut Jakob Oetama, pencarian makna berita serta penyajian makna berita merupakan pekerjaan rumah dan tantangan media massa saat ini dan di masa depan. Jurnalisme dengan pemaknaan itulah yang diperlukan bangsa sebagai penunjuk jalan bagi penyelesaian persoalan-persoalan genting bangsa ini.
Jurnalisme damai merupakan wawasan jurnalistik yang berlandaskan filsafat politik tertentu. Kultur jurnalisme itu telah menjadi referensi bagi kehidupan jurnalisme di Indonesia. Pers digunakan sebagai wahana untuk mengamalkan pilar-pilar humanisme transedental melalui kebijakan pemberitaan yang memberikan perhatian sentral pada masalah aspirasi, hasrat, keagungan dan kehinaan manusia serta kemanusiaan.
Melalui karya-karya jurnalistiknya, Jakob secara konsisten dinilai telah menunjukkan bahwa misi jurnalisme bukan hanya sekadar menyampaikan informasi kepada pembaca, tetapi lebih dari itu. Misi pokok dari jurnalisme adalah untuk mendidik dan mencerahkan hati nurani anak bangsa, menghapuskan nilai-nilai primordial dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompok, menanamkan etika dan moral demokrasi serta keadilan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Menurut Jakob Oetama, agar pers tetap bebas maka diperlukan harga diri yang tinggi. Jika tanpa harga diri, maka pers akan tampak seperti robot. Wartawan damai akan melihat konflik secara menyeluruh dan berorientasi pada menggali proses terjadinya konflik tersebut.
Jurnalisme damai mengedepankan nilai-nilai humanis dan perdamaian. Jurnalisme damai dapat digunakan oleh para wartawan yang anti kekerasan. Bagi media yang hanya menginginkan rating tinggi maupun banyak iklan yang diperoleh, pengeksploitasian konflik biasanya menjadi salah satu senjata utamanya. Hal inilah yang menjadi hal buruk bagi jurnalisme di Indonesia. Seharusnya pers dapat menjadi solusi dan memberikan hal positif dibalik sebuah konflik, namun justru pers menjadi salah satu pemicu konflik dan bisa melanggengkan konflik yang ada.
Daftar Pustaka :
Oetama, Jakob. 2001. Pers Indonesia, Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.