WELCOME !

HAVE FUN !

Sabtu, 03 September 2011

We are ONE!

Kisah ini bermula sekitar bulan Juni (kalau ngga salah). Hehe..
Waktu itu di beberapa papan strategis di kampus, terpasang poster open rekrutmen FIAT 2011. Syarat dan beberapa hal lain tercantum di dalam poster tersebut. Sebenarnya aku tertarik dengan FIAT sudah sejak semester awal. Kesempatan ini sepertinya tidak akan terlewat lagi untuk kedua kalinya. Akhirnya, aku membuat CV dan surat lamaran sebagai syarat mengajukan diri bergabung dengan FIAT 2011.
Aku memang tertarik dengan FIAT, tapi bukan berarti mengikuti kegiatan ini tidak mempertimbangkan beberapa hal. Aku sempat berpikir berulang kali sampai diambil keputusan "Ikut FIAT ahh.." Banyak juga lho teman-teman yang mengingatkan beberapa kali, bahkan memberikan nasihat untuk memikirkan ulang hal ini. “Yakin ikut FIAT?” Yahh..kurang lebih begitu tanggapan beberapa teman setelah mendengarkan ceritaku untuk ikut FIAT. Alasan keraguan mereka memang cukup kuat, karena mengingat aku punya kesibukan lain di 2 organisasi (sebenarnya ada 3 sih, tapi yang 1 lupain dulu lah :p) yang berat untuk ditinggal begitu saja. Apalagi nih FIAT terkenal dengan keSIBUKannya. Maklum, FIAT akan berlangsung selama SP dan itu berarti sekitar 2-3 bulan mennnn.. Oh, gosh! Terancam tidak bisa menghabiskan libur panjang (baca: makan tidur makan tidur) di rumah nih. Hahaha. Demi niat dan komitmen untuk menambah pengalaman, skill, teman baru (ya kali bisa dapet jodoh juga), akhirnya aku 'terjerumus' juga untuk mengikuti proses rekrutmen FIAT 2011. Modal nekat juga sih sebenarnya guys..
                             Proses wawancara pun aku jalani. Wawancara aja sih buatku tidak menjadi masalah yang gimana gitu. Hanya saja yang membuatku cukup merasa nervous adalah siapa yang mewawancarai. Aku sudah kenal beberepa orang yang menjadi pewawancara. Harusnya ini menguntungkanku, tapi entah kenapa ya, diwawancarai oleh teman sendiri itu jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan orang yang belum kita kenal. Why it occurs? Hal ini terjadi karena teman kita itu notabene udah tau busuk-busuknya kita seperti apa. Jadi pas wawancara sudah buat nge-les coy..
Beberapa hari setelah wawancara, akhirnya...


Terererererererereretttttt.....

Tararrrraaa….

Jeng jeng…


Aku masuk jadi tim FIAT 2011 di divisi PRODUKSI. Ada satu hal lagi yang mengejutkan. Aku menjabat sebagai manajer produksi. Wow!! Keren! :p Sempat aku berpikir kenapa aku terpilih sebagai Manajer. Ada rasa ngga pede ketika pertama kali mengetahui hal ini. Aku juga sempat berpikir jangan-jangan mereka salah ketik atau salah pilih. Tapi apapun alasan mereka memilihku, aku merasa aku harus bisa menunjukkan kalau mereka tidak salah. Aku tidak mengecewakan. Anyway, I'm proud to be manager. Hehehe :D



TIM FIAT 2011

Tidak mudah ternyata melewati proses di FIAT ini. Banyak suka, sedih, jengkel, perasaan lelah, putus asa, semuanya ada dalam proses kami. Bahkan tidak jarang pertengkaran menghiasi hari-hari yang kami lalui. Nangis pun jadi bumbu dalam proses ini. Susah untuk diceritakan bagaimana rasanya. Bisa dibilang FIAT ini proses dari ababil menjadi stabil. haha. 
Berbagai peristiwa-peristiwa selama kurang lebih 3 bulan sudah kami jalani..hingga akhirnya kami sadar, bahwa kami adalah satu kesatuan sebagai FIAT TV. Bukan lagi aku divisi news, aku produksi, iklan, ataupun aku marcomm, tapi aku adalah FIAT. Hal ini sangat terasa ketika proses online. Tidak lagi mengenal siapa aku - siapa kamu, tapi hanya mengenal kami. Ada hal yang kurang, kami harus saling melengkapi, kami tidak bisa tanpa ada aku dan kamu, yah semacam itulah.. Semoga proses ini tidak akan menguap begitu saja seiring dengan waktu dan perpisahan ini. Tapi endapkanlah proses itu di dalam diri. Jadikanlah dasar untuk selalu memperbaharuinya dengan proses SUPER selanjutnya.
WE ARE ONE! Keep moving forward!


Senin, 16 Mei 2011

Cantik haruskah putih??


Dalam masyarakat kita, kulit putih dianggap lebih bagus daripada kulit gelap. Perempuan cantik disimbolkan dengan perempuan yang memiliki kulit putih, tubuh langsing, tinggi, dan berambut panjang. Hal ini seperti yang digambarkan dalam iklan-iklan produk kecantikan di TV. Padahal cantik versi ini mungkin lebih tepat untuk menggambarkan kecantikan perempuan Barat dibandingkan untuk menggambarkan kecantikan perempuan Asia, khususnya Indonesia. Hal ini akibat dari globalisasi. Modernitas dan globalisasi sekarang ini membentuk masyarakat menjadi semakin seragam atau homogen dengan sistem standarisasi melalui teknologi dan melalui hal-hal yang bersifat komersial seperti iklan. Oleh karena itu, kaum perempuan sibuk memutihkan kulit gelap mereka dengan mengkonsumsi produk-produk pemutih demi mengejar kecantikan versi Barat tersebut.
Ada sebuah slogan yang mengatakan kalau konsumen itu adalah raja. Dalam iklan atau kampanye promosi sering dilihatkan bahwa kepuasan konsumen adalah hal nomor satu yang diutamakan. Banyak keuntungan yang ditawarkan oleh sebuah produk untuk memenuhi kepuasan konsumen. Tetapi sekarang ini kenyataannya iklan menawarkan janji-janji muluk yang irasional.
Menurut pemahaman Bordieu, iklan menjadi mesin kekerasan simbolik yang menciptakan kategorisasi, klasifikasi, dan definisi sosial tertentu. Iklan memproduksi image simbolik seperti kecantikan, kejantanan, gaya hidup modern, dll. Hal ini misalnya seperti ditunjukkan dalam iklan Pond’s. Iklan Pond's selalu menggunakan bintang atau artis yang berwajah putih (contoh: Bunga Citra Lestari) sebagai simbol kecantikan dari produk pond's itu sendiri. Image simbolik yang diciptakan iklan dan media inilah yang kemudian diadopsi oleh kita dan mempengaruhi cara pandang kita. Melalui iklan, kapitalisme mencoba membentuk konstruksi realitas kita bahwa cantik itu haruslah putih. Sehingga kaum perempuan tanpa disadari terjebak pada kepentingan-kepentingan dan sensitif akan warna kulit ini.
            Sekarang ini, banyak kaum perempuan yang mencoba memutihkan kulitnya yang gelap dengan mengkonsumsi berbagai produk perawatan wajah untuk membuat dirinya terlihat cantik. Padahal sebenarnya iming-iming yang dijanjikan dalam iklan pemutih tidaklah rasional. Contohnya adalah iklan yang menjanjikan kulit akan tampak putih, noda hitam dan bekas jerawat akan berkurang hanya dalam waktu 7 hari. Bahkan dalam salah satu iklannya, memberikan tantangan 7-day challenge or your money back. Iklan produk tersebut menjanjikan sesuatu yang praktis dan instan. Apakah bisa seseorang yang memang pada dasarnya pigmen kulitnya gelap, setelah memakai produk pemutih wajah tersebut kemudian akan berubah menjadi putih dalam waktu sekejap? Hal ini kan mustahil. Tidak mungkin, orang Papua misalnya, yang berkulit gelap bisa berubah menjadi putih karena memakai produk pemutih wajah hanya dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu secara tidak langsung, iklan produk pemutih memperdayakan konsumen, khususnya para perempuan. Mereka diperdayakan melalui iklan agar mau membeli produk dengan diberikan janji-janji yang muluk. Namun, mengapa ya kita mudah sekali terperdaya oleh iklan-iklan dan menerima ide iklan itu begitu saja?
Masyarakat kita cenderung mudah dipengaruhi. Kecantikan yang disimbolkan dalam iklan produk pemutih dan produk kecantikan lainnya mengadopsi dari budaya Barat dan kurang pas jika diterapkan di Indonesia. Simbol kecantikan tersebut justru mengandung diskriminasi, karena menonjolkan suatu ras dan membedakan warna kulit. Tapi, adanya pandangan bahwa segala sesuatu hal yang berasal dari Barat cenderung lebih superior membuat simbol kecantikan tadi mudah diterima.
Dalam iklan produk pemutih, perempuan-perempuan digeneralisasikan dan dibuat homogen. Keberagaman feminitas lokal akan hilang. Semua seakan diharuskan berkulit putih. Namun, begitu kuatnya added value (nilai lebih) atau imajinasi yang ditawarkan dalam iklan pemutih wajah melalui kata-kata dan tampilan visualnya membuat kita tergoda. Iklan biasanya menawarkan sesuatu yang praktis dan instan. Konsumen dijanjikan bisa tampak lebih putih hanya dalam waktu singkat. Sebenarnya ini kan hanya permainan bahasa saja. ‘Tampak’ lebih putih belum tentu menjadi putih. Selain itu, kapitalisme danmodernitas membuat kita makin tidak bisa terpisahkan dari tindakan yang bersifat rasionalitas instrumental. Kita cenderung menyukai sesuatu yang praktis dan instan dalam mencapai tujuannya. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai efisiensi kehidupan. Konstruksi berpikir kita yang sering tidak didasarkan pada realitas yang ada, membuat kita sering berimajinasi terlalu tinggi. Kita ingin mencapai tujuan atau target setinggi-tingginya tapi dengan cara yang mudah, praktis, dan cepat. Maka, kita gampang sekali terbujuk dengan tawaran janji-janji yang menggiurkan. Segala sesuatu yang penyelesaiannya pragmatis adalah rasionalitas instrumental. Rasionalitas instrumental membentuk sebuah sistem dimana kita sebagai agennya. Sistem lah yang membuat kita seperti ini. Oleh karena itu, masyarakat mudah tergoda dengan iklan pemutih wajah.
Selain itu, fenomena ini juga tidak lepas dari proses interaksi. Sesuai dengan teori Interaksionisme Simbolik, bahwa manusia berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol. Melalui proses interaksi, iklan menyampaikan pesan kepada khalayak luas bahwa simbol kecantikan adalah wajah mulus dan kulit putih. Kita menerima begitu saja pesan tersebut dan konstruksi berpikir kita tentang perempuan cantik dibentuk.
Melalui proses interaksi inilah, konsep diri kita terbentuk. Namun, kita juga berperan aktif dalam membentuk konsep diri kita. Kita menggunakan kapasitas kita agar reflektif untuk menghadirkan seseorang yang kita ingini agar orang lain berpikir tentang kita sesuai dengan orang yang kita inginkan itu.
Ketika para perempuan ingin dikatakan dan dianggap cantik oleh orang lain, maka kita akan berusaha menjadi seperti itu dengan mengkonsumsi produk kecantikan. Kita ingin agar konsep diri kita yang terbentuk lewat interaksi sosial sifatnya positif. Selain itu, tindakan yang berorientasi pada efisiensi kehidupan manusia membuat kita tergiur dengan iklan pemutih wajah yang menawarkan kepraktisan dan menerima pesan yang disampaikan iklan begitu saja. 
Referensi :
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Bertens, K. 2001. Perspektif Etika. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
 beberapa web dan blog

Jumat, 06 Mei 2011

UNTITLED (Part Two)


Tumben-tumbenan saat jam istirahat, anak-anak masih dengan manisnya duduk di bangku masing-masing. Padahal biasanya saat bel istirahat bunyi, ngga nyampe lima menit kelas udah kosong dan paling cuma beberapa aja yang tinggal diam. Tapi siang ini, hampir separuhnya ada di dalam kelas dan belajar. Hal ini cukup membuat Deta terheran-heran.
“Kenapa lo? Malah bengong gitu,” tegur Clara yang heran sendiri melihat Deta bengong terus daritadi.
“Ahh..ini..kok aneh banget ya hari ini. Ngga biasanya anak-anak pada belajar. Ckckck..udah pada tobat kali ya,” ujar Deta.
“Loe belum tau ya, Ta? Kan ulangan nanti lisan. Makanya semua pada belajar. Kalau ngga gitu, gue juga ogah kali belajar,” celetuk Deva, cowok berambut kribo yang duduk di depan Deta.
“HAH?!! Ulangan lisan?? Yang bener lo?” tanya Deta setengah berteriak. Soal yang satu ini, jujur Deta belum tahu sebelumnya. Makanya Deta kaget sendiri waktu Deva memberi tahunya. Oo..jadi ini penyebabnya kenapa teman-teman sekelasnya mendadak jadi rajin begini.
“Yahh, telat lo! Makanya pasang tuh kuping baik-baik. Jangan cuma dijadiin pajangan aja disitu,” sindir Clara tajam. Anak yang satu ini kalau ngomong kadang emang suka ngasal. Tajem banget, setajam silet. Hhe.
“Idiihh..itu mulut atau pisau? Tajemnya..” komentar Deta menanggapi sindiran teman sebangkunya itu.
Baru lima menit Deta komat-kamit menghapal bahan ulangan, bel pun berbunyi. Itu tandanya pertarungan dengan Pak Ade pun akan segera dimulai. Hehe..lebay.
“Selamat siang murid-muridku yang berbahagia,” sapa Pak Ade ketika memasuki ruangan kelas.
“Siang Pak….”
“Okelah kalau begitu..kita langsung mulai saja ulangan lisan kali ini. Nanti siapa yang bapak panggil harap maju kedepan. Kalau nanti waktunya tidak cukup, ulangannya kita lanjutkan minggu depan. Mengerti ya?”
“Clara Deppy Pangestu,” panggil Pak Ade.
Deta melirik ke seorang cewek di sebelahnya. Clara terlihat kaget karena dia mendapat giliran yang pertama. “Selamat yee,” ledek Deta.
“Elo sih bawa sial. Gue jadi dapet urutan pertama nih,” ujar Clara sewot.
‘Loh, kok gue sih yang disalahin? Aneh!’

Akhirnya ulangan sejarah sudah terlewati. Deta pun sudah mendapat giliran maju untuk hari ini. Deta merasa yakin dengan jawaban-jawabannya tadi. Walaupun ngga semua pertanyaan yang diajukan Pak Ade, guru sejarahnya, dia jawab semua. But, not too bad lah yaa. Paling tidak usaha belajar Deta semalam yang dibantuin Ribas tidak sia-sia.
Bulir-bulir keringat mengucur deras di dahi Deta. Hampir setengah jam Deta menunggu angkot di depan sekolahnya tapi belum ada satupun yang lewat. Terik sinar matahari membakar kulitnya yang kuning langsat.
“Woii!!” panggil Ribas yang tengah berjalan menuju ke arahnya.
“Ngapain lo? Bukannya lo harusnya lagi di kelas buat ikut pelajaran tambahan?” tanya Deta.
“Gue ijin ke belakang dulu. Lagian gara-gara elo juga sih”
“Lah kok gue dibawa-bawa?”
“Nih pake. Berapa kali sih gue bilang kalau mau pergi tuh jangan lupa bawa jaket. Bandel banget dah cewek ini,” ujar Ribas seraya mengulurkan jaket hitamnya. Deta tertegun sebentar. Deta merasa tersentuh akan sikap Ribas barusan.
“Engg..iya iya sori deh. Ya udah, loe balik gih sono! Makasih nih buat jaketnya”
“Ngg..gue tungguin deh sampai angkotnya dateng”
“Ngga usah,” tolak Deta.
“Ya udah. Tapi kalau butuh sesuatu langsung hubungi gue ya,” kata Ribas. Deta menganggukkan kepalanya tanda setuju. Setelah itu Ribas pergi dan menghilang dari pandangan Deta. Sekarang tinggallah Deta yang makin ngga sabar pengin cepat-cepat pergi dari situ karena sudah kepanasan stadium akhir. Hhe..
Berhubung angkot yang ditunggu ngga kunjung tiba, alhasil Deta memutuskan untuk naik ojek. Tidak  sampai lima belas menit, ojek yang ditumpanginya berhenti di sebuah rumah bergaya minimalis. Deta mengambil dompet dari dalam tasnya dan mengeluarkan selembar uang lima ribu.
“Kok cuma segini mba? Tambah dikit lah,” protes  si abang tukang ojek.
“Biasanya juga segitu”
“Ini kan bukan ojek biasa mba,” ujar si abang sambil senyam senyum ngga jelas.
“Halahhh si abang nih..padahal ngga ada bedanya juga sama yang lain. Ngga ada istimewanya. Emang ojek situ pakai telor?” gerutu Deta. Walaupun begitu, Deta mengambil juga dua lembar uang seribu dan memberikannya pada abang tukang ojek.
“Hhahaha..emang ojek saya nasi goreng, pakai telor segala. Mbak bisa aja deh. Makasi ya mba”
“Iya deh sama-sama,” ujar Deta sambil berlalu. Deta berjalan masuk ke dalam rumah. Dari depan pintu rumah terdengar suara musik yang distel cukup keras.
Deta berhenti sebentar di depan sebuah kamar yang letaknya bersebelahan dengan kamarnya di lantai dua. Digedornya pintu kamar itu keras-keras. Tidak ada reaksi apa pun dari dalam. Sekali lagi Deta menggedor-gedor pintu tersebut. “Didiiiiiiittttt!!!!! Diitttttt!!!!” panggil Deta.
Beberapa saat kemudian pintu dibuka dan muncullah seorang cowok dengan usia satu tahun dibawah Deta. “Kenapa sih??” tanya Didit yang terlihat kesal dengan kakaknya.
“Bisa ngga sih loe dengerin musiknya pelan-pelan aja,” jawab Deta masih bisa sabar.
“Kalau gue dengerinnya pelan-pelan, gue kagak bisa nikmatin. Lagian mana ada sih orang dengerin musik rock pelan-pelan,” kata Didit sambil menarik gagang pintu dan hendak menutupnya. Tapi gerakan Deta lebih cepat. Deta menahan pintu tersebut dengan kakinya.
“Iiiiihhhhhh…..!!! dasar bocah ingusan!” maki Deta.
                “Apa?? Ingusan? Elo tuh nenek sihir!” balas Didit ngga mau kalah dari Deta.
                “Anak ingusan! Kimcil! Unyil!”
                “Nenek sihir lo! Mak lampir…”
                “Hheyyy..stoppp!!!” Sambil berlari kecil, Bunda datang dari dapur masih dengan membawa pisau digenggamannya.
“Kalian ini bisa diam ngga? Berisik aja kalian berdua” Deta merinding ngeri melihat Bundanya. Bukan karena dia galak atau apa, tapi karena pisau yang diacung-acungkan Bunda ke arah Deta dan Didit.
                “Iyya bun, tapi itu pisaunya jangan digituin dong. Serem ahh. Emang kita daging apa?” Bunda melihat ke tangannya dan baru menyadari kalau dirinya masih membawa pisau.
                “Sorry. Bunda lupa. Udah sana kalian balik ke kamar masing-masing! Terus siap-siap buat makan siang. Bunda tunggu di meja makan!” perintah Bunda yang langsung dipatuhi dua bersaudara itu. Deta langsung masuk ke kamarnya dengan patuh tanpa mengomel. Mending cari selamat aja, daripada ntar pisaunya beneran melayang ke arahnya. Hhiiii…amit-amit!

Hujan diluar sana turun sangat deras. Di bawah selimut, Deta memeluk gulingnya erat. Padahal sekarang baru jam tujuh, tapi matanya sudah terasa berat. Apalagi suasananya mendukung banget untuk tidur.
Drrrttt…drttttttt….
Handphone Deta bergetar. Deta meraih handphone didekatnya. Sebelum menjawab panggilan masuk, sekilas Deta membaca nama yang tertera di layar hape’nya. “Hallo”
                “Malem sayang. Lagi ngapain nih?”
“Eh kunyuk! Ngapain sih pake sayang-sayangan segala. Ngga pantes”
“Emm, aku ganti deh. Lagi ngapain beibh?”
“Sama aja odong!!!” maki Deta.
“Buahahahahahaha… Galak banget, kayak nenek lampir aja lo”
“Eitss..mana ada nenek lampir secantik gue gini. Hehehe..”
“Ahahahahaha.. sok cantik! Eh neng, besok sore ada acara ngga?” tanya Ribas.
“Ada, tapi baru rencana doang. Mau ke rumah Sasha bang. Emang kenapa?”
“Temenin gue futsal yuk. Jadi besok sore ada pertandingan futsal gitu. Mau ya? Ntar abis selesai futsal, gue temenin ke rumah Sasha deh. Gimana?”
“Loe mulai futsal jam berapa? Aduh, males ahh. Gue ntar bengong sendirian di pinggir lapangan kayak orang bego.”
“Yaa elo teriak-teriak kek jadi tim cheers biar ada kerjaan. Ayolahhh..kita kan udah jarang jalan berdua. Mumpung besok gue ada waktu. Nanti gue traktir makan es krim. Oke kan?”
“Ahh..gue…”
“Oke. Elo udah setuju. Besok sore gue jemput jam empat ya,” potong Ribas.
“Uidihhhh…seenaknya aja ni anak.”
“Hehe.. biarin.”
“Ngga belajar bang? Sono gih belajar biar nilainya bagus! Ntar dimarahin tante Mia lho anaknya pacaran mulu,” kata Deta.
“Hahahaha..iya dah. Oke. Met malem ya Deta-ku”
“Hhe..udah lama loe ngga panggil Deta-ku. Geli gue dengernya. Met malem juga. Belajar yang pinter ya Ribas-ku. Dah..” kata Deta sambil senyam-senyum sendiri.             

Pagi hari ini matahari bersinar cerah. Deta siap untuk menjalani aktivitasnya hari ini. Seperti pagi biasanya, Deta bersama bunda dan adiknya duduk di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Kebetulan sudah seminggu ini Papa ada tugas ke luar kota. Jadi, Bunda menjadi janda sementara deh. Hehehe..
“Bun, Papa kapan pulangnya?” tanya Deta.
“Masih belum tahu. Nanti kalau mau pulang, Papa pasti kasih kabar ke kita,” jawab Bunda.
“Iya, rewel banget sih loe kak! Palingan juga ngga sabar buat dapet oleh-olehnya kan?” celetuk Didit.
“Ahh, ikut nimbrung aja loe kimcil!”
“Pagi-pagi udah ketemu nenek lampir. Hiiii..syerem,” balas Didit dengan ekspresi wajah sok ketakutan.
“Stop!” lerai Bunda sebelum perang adu mulut berlanjut. “Daripada kalian berdua bawel, buruan gih pergi sekolah,” perintah Bunda.
“Siapp Madam!” jawab Deta mantap.
“Ayo kimcil kita pergi!” ajak Deta pada adik satu-satunya itu.
                Akhirnya pagi ini berakhir dengan damai. Deta dan Didit ini satu SMA. Jadi, setiap pagi Deta selalu nebeng motor Didit. Namun, jangan harap bisa melihat mereka berdua akrab layaknya kakak adik saat berada di sekolah. Mereka berdua malah ngga terlihat seperti saudara. Soalnya tiap berpapasan pasti sok pura-pura ngga kenal.
               
Begitu bel istirahat berbunyi, Deta langsung ngacir ke kantin untuk membeli es krim kesukaannya. Kantin sekolah selalu padat oleh orang-orang yang kelaparan. Malahan ngga pernah sepi. Beli satu es krim aja Deta mesti ngantri panjang banget, sepanjang bulu mata (lhoh??).
Beruntung Deta bisa keluar dengan selamat dari kerumunan orang kelaparan itu. Sambil memakan es krim cone ditangannya, Deta kembali menuju kelasnya. Ditengah jalan Deta melihat Sasha sedang duduk sendirian di bangku koridor kelasnya. Deta langsung mengurungkan niatnya untuk kembali ke kelas dan menghampiri Sasha.
“Halo cantik!” sapa Deta. Wajah Sasha yang tadinya udah manyun jadi tambah manyun dengan kehadiran Deta.
“Masih marah loe sama gue? Sorry, Sha. Maafin gue ya? Plisss…” pinta Deta. Sasha masih cuek. Tidak ada tanggapan sama sekali.
“Kata orang sih, kalau cemberut bisa bikin keriput lho Sha!” kata Deta sok memberitahu. Hasilnya nol. Sasha masih cuek bebek kwek kwek.
“Nanti gue beliin bolu kukus selusin deh,” kata Deta yang mencoba merayu Sasha untuk kesekian kalinya.
“Yakin loe mau beliin bolu kukus satu lusin?” tanya Sasha balik. Wah, manjur juga ya cara ini. Mendengar kata bolu kukus aja, langsung deh luluh. Ckckck..bolu kukus ajaib. Wahahaha..
“Yakin lahh. Ntar sore gue anterin kerumah loe tuh bolu kukus. Gimana? Deal?”
“Deal” Sasha menjabat tangan Deta. Ini tandanya, masalah sudah selesai.
“Masih aja ya loe doyan es krim”
“Hehehe.. elo juga masih doyan bolu kukus tuh”
“Iya juga ya. Haha..,” kata Sasha diiringi tawanya.
“Ta, adek loe udah punya pacar belum?” tanya Sasha penasaran. Pertanyaan Sasha yang satu ini mengundang kecurigaan Deta. “Loe naksir adek gue?” tebak Deta.
“Yup.”
“Hhaahhhhh?!?”
“Woii! Biasa aja dong responnya! Alay loe”
“Kok bisa?” tanya Deta masih ngga percaya.
“Hmm..Adek loe itu cakep tau! Apalagi kalau pas dia lagi main basket atau main drum. Wuhh, keren cin!”
“Buahahahahahahaha…” Deta tertawa cekakakan.
“Kenapa bu? Kurang obat kali ini anak”
                “Hehe.. baru sekali ini gue denger yang kayak gitu. Ckckck.. belum tau sih loe aslinya kayak apa,” ujar Deta yang masih tertawa geli mendengar adiknya dipuji seperti tadi.
“Nah justru itu, Ta. Gue tertarik buat kenal Didit lebih jauh gitu..”
“Ssshhh..sarap loe ahh!”
“Bodo!”
“Yaa terserah. Gue ngga tau dia udah ada cewek atau belom. Tapi seinget gue, gue pernah nguping waktu dia lagi nelpon. Kayaknya sih dia lagi telponan sama cewek gitu. Mesra kok Sha,” kata Deta memberitahu.
“Mmm..elo nih tipe kakak yang tidak baik. Masa adiknya udah punya pacar atau belum elo kagak tau sih,” sindir Sasha.
“Bukan urusan gue kali Sha. Itu urusan pribadinya adek gue,” kelit Deta sambil beranjak pergi.
“Woi, mau kemana?”
“Balik ke kelas odong!” teriak Deta yang sudah berjalan cukup jauh.
Saat berjalan, Deta malah melamunkan sesuatu. Cinta memang susah ditebak ya kemana arahnya. Sasha yang dulunya anti berondong, sekarang malah naksir sama berondong. Yah, walaupun ngga berondong banget. Kira-kira kemana ya arah cinta Deta dan Ribas beberapa waktu ke depan. Akankah masih tetap sama seperti ini atau malah akan berubah? Hmm.. cinta memang susah diprediksi.

Di pinggir lapangan futsal, sudah berkumpul beberapa teman satu team Ribas. Mereka sudah mulai melakukan pemanasan karena pertandingan akan segera dimulai. Pertandingannya hanya pertandingan biasa kok. Pertandingan antar teman. Hohoho..
Di salah satu sudut lapangan, tidak jauh dari tempat duduk Deta, Deta melihat seorang cowok yang sangat dikenalnya sedang mengobrol dengan cewek.
“Didit,” desis Deta lirih.
Kalau dilihat dari seragamnya, dia satu team sama Ribas. Tapi ada yang membuat Deta lebih penasaran, cewek yang ngobrol sama Didit. Sepertinya mereka terlihat serius saat mengobrol. Deta menduga cewek manis berambut panjang dan ngga bolong punggungnya itu adalah pacar adeknya. ‘Wah, ntar mesti gue samperin tuh anak. Masa punya pacar ngga dikenalin ke gue. Dasar kimcil!’
Pritttt…! Suara peluit menandakan dimulainya pertandingan kali ini. Dari tempatnya duduk, Deta mengamati Ribas yang tengah berlari kesana kemari mengejar bola. Senyum pun mengembang di wajah Deta. Ternyata sudah lama sekali Deta tidak mengamati Ribas dengan seksama. Dulu, saat mereka belum jadian, Deta sering diam-diam curi pandang dari jauh untuk mengamati Ribas, kakak kelas yang dianggapnya paling cakep dan keren. Postur tubuhnya yang tinggi, senyum manisnya, dan kekonyolan tingkah laku Ribas lah yang berhasil membuat Deta jatuh cinta padanya. Hmm, tak terasa satu tahun berlalu. Saat ini Deta tak perlu sembunyi-sembunyi lagi untuk mengamati pujaan hatinya itu. Karena Deta dapat kapan saja mengamatinya dari dekat.

Pertandingan sudah berakhir. Hasilnya seri. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Keduanya seimbang.
“Ribas!” panggil Deta. Ribas yang tengah berkumpul bersama teman-temannya, menoleh ke Deta. Ribas member isyarat pada Deta untuk menunggu sebentar lagi.
Selesai berkumpul dengan temannya, Ribas menghampiri Deta. Deta memberikan sebotol air mineral pada pacarnya itu. Deta mengamati Ribas. Keringat masih mengalir membasahi tubuhnya. Diambilnya handuk kecil dari dalam tas Ribas dan diusapkannya pada tubuh Ribas yang dibasahi oleh keringat.
“Kali ini elo manis banget sama gue. Gue jadi curiga,” ujar Ribas curiga.
“Hahaha..”
“Jiahh..dia malah ketawa”
“Jangan GR deh. Gue ngelapin keringet loe biar badan loe ngga bau. Kan gue males aja deket-deket cowok bau,” kelit Deta.
“Hahaha.. apapun alasan loe, makasih ya sayang!” ucap Ribas. Dicubitnya pipi Deta gemas.
“Sama-sama Ribas. Nah, mending sekarang loe ganti baju gih sana! Basah tuh bajunya. Elo tuh abis main futsal atau main air sih, basah kuyub gitu.”
Ribas tersenyum. Segera dilepasnya kaos yang dipakainya dan menggantinya dengan kaos yang sudah dipersiapkan dari rumah.
“Bas, elo tau ngga cewek yang bareng Didit itu siapa?”
“Gue ngga kenal. Tapi kayaknya dia sering nemenin Didit latihan futsal. Elo ngga tahu?” Ribas balik bertanya. Deta menggelengkan kepalanya. Didit belum pernah kenalin ke Deta.
“Kamar mandi bentar ya, Ta. Mau ganti celana dulu.”
“Oke.”
Daripada penasaran, Deta akhirnya memutuskan untuk menghampiri adiknya.
“Halo kimcil!” sapa Deta saat sudah berada di belakang Didit. Didit yang sedang berdiri membelakangi Deta, menoleh. “Eh nenek lampir, ngapain loe?” kata Didit kaget.
“Oohh gitu ya respon loe sama kakak loe yang cantik ini.” Didit mencibir.
“Eh ngomong-ngomong, dia siapa Dit? Masa cewek secantik ini ngga loe kenalin ke gue sih Dit? Cewek loe ya?” goda Deta.
“Ooh. Kenalin ini Bella. Cewek gue,” ujar Didit malu-malu. Perkenalan singkat antara Deta dan Bella pun terjadi.
“Udah kan kenalannya? Pergi sana! Tuh bang Ribas udah nungguin. Hush..hushh..” usir Didit secara terang-terangan.
“Oke, gue pergi. Bella, gue pergi dulu ya. Sampai ketemu lain waktu. Dah Bella,” ucap Deta sok manis.
                “O iya Bella, kamu ngga nyesel kan milih Didit?” tanya Deta pelan. Bella tersenyum menanggapi pertanyaan Deta. Sebaliknya, Didit hendak bersiap melempar botol air mineral kosong ke arah kakaknya. Namun, Deta segera mengambil antisipasi untuk kabur…!

 Dua belas bolu kukus berbagai rasa terbungkus rapi dalam sebuah box. Bolu kukus ini lumayan menguras uang jajan Deta. Tapi Deta tidak punya pilihan lain. Deta sudah berjanji akan memberikan selusin bolu kukus jika Sasha mau memaafkannya.
Saat ini, Deta dan Ribas sedang berada di teras belakang rumah Sasha. Tempat ini adalah tempat favorit Deta jika berkunjung ke rumah Sasha. Di sini Deta dan Sasha sering mengadakan sesi curhat berdua. Hhe..
“Ayo diminum nak Deta. Sebentar ya sayang. Sasha lagi mandi. Dia itu kalau mandi luamaa banget. Maklumin ya,” kata tante Sasti, mama Sasha.
“Iya tante, ngga apa-apa kok. Udah biasa. Hhe..” balas Deta.
“O iya, ini siapa Ta? Pacarnya ya? Duh, cakepnya,” goda tante Sasti.
“Hhehe, iya tante,” jawab Deta cengengesan. “O iya, kenalin tante dia Ribas.” Perkenalan antara Ribas dan tante Sasti pun terjadi.
“Ta, tante mau nanya ni. Sasha itu sudah punya pacar belum ya? Kok dia itu teman cowoknya ganti-ganti terus ya? Tante jadi bingung, yang mana sbenarnya pacar anak tante itu,” curhat tante Sasti. Tuh kan! Di tempat ini, teras belakang rumah Sasha, sering dijadiin tempat curhat. Dan kali ini Deta menjadi psikolog dadakan.
“Waduh, sepertinya belum punya. Sasha memang temannya banyak tan, apalagi teman cowoknya. Cuma setahu Deta, sepertinya Sasha belum ada pacar tuh,” kata Deta memberitahu apa yang dia tahu. Tante Sasti mengangguk-angguk mendengar penjelasan Deta.
“Ehmm..” Sasha berdeham. Deta, Ribas, dan tante Sasti menoleh ke arahnya. Sasha berdiri tidak jauh dari mereka.
“Eh tuan putri sudah selesai mandi. Tumben Sha kamu mandinya cuma sebentar,” goda Mamanya.
“Ahh Mama nih,” ujar Sasha cemberut.
“Mama masuk dulu ya. Mau menyiapkan makan malam dulu. Deta, Ribas, tante ke dalam ya. Santai aja disini,” kata tante Sasti yang diikuti anggukan Deta dan Ribas.
Setelah Mamanya Sasha masuk, Deta langsung memberikan kardus putih cukup besar pada Sasha. Wajah Sasha menjadi ceria dengan senyuman bahagia. Senyuamannya seperti senyuman seseorang yang baru saja mendapatkan undian hadiah satu milyar.
“Girang banget loe Sha,” celetuk Ribas.
“Biasa lah. Bolu kukus holic,” timpal Deta.
“Hmmm… wanginya..” Sasha mengamati bolu kukus di depannya dengan muka ‘siap lahap’-nya. Diambilnya satu bolu kukus rasa coklat dan dilahapnya kue tersebut. “Nyamm..nyamm..” gumam Sasha. Deta dan Ribas hanya bisa berpandangan dan tertawa cekikikan melihat tingkah laku Sasha.
”Makasi Deta buat bolu kukusnya. Sering-sering aja loe ngasihnya,” kata Sasha.
“Wah malah ketagihan loe. Elo mah enak, lah gue, abis duit jajan gue Sha. Kampret loe!” umpat Deta.
“Ya udahlah Ta, ngga usah marah. Sekali-kali loe nyenengin sahabat. Salah loe sendiri pake bikin Sasha ngambek segala,” kata Ribas memberi nasihat.
“Nah betul itu. Betul betul betul!” sahut Sasha.
“Wuuu..nyamber aje lu monyong!”
“Hehehehehe…”

Perjalanan selanjutnya diwarnai dengan perang adu mulut antara Deta dengan Ribas. Hal ini terjadi lantaran Ribas tidak menepati janjinya untuk mentraktir Deta es krim. Awalnya Ribas berjanji pada Deta untuk mentraktirnya es krim di toko es krim favoritnya jika Deta mau menemaninya bertanding futsal. Namun, sepulang dari rumah Sasha waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ribas tidak ingin Deta pulang terlambat.
“Jangan ngambek gitu lah Det. Gue cuma menunda janji aja. Nanti kalau ada kesempatan lagi, pasti gue traktir es krim sepuasnya deh,” kata Ribas mencoba memberi pengertian pada Deta.
“Kapan? Elo kan udah mulai sibuk. Minggu depan elo ada latian ujian terakhir kan? Mana sempet..” rajuk Deta manja.
“Gue janji Deta sayang.. nanti kalau ada waktu lagi, pasti Ribas langsung ajak buat makan es krim bareng. Lagipula ini udah malem. Gue ngga pengin elo telat pulangnya, kan besok masih sekolah”
“Jadi jangan ngambek lagi ya. Jangan childish gitu ahh,” bujuk Ribas. Ribas menggengam tangan Deta lembut.
“Terserah elo aja deh,” kata Deta pasrah. Wajahnya masih menampakkan rasa kesal.
“Ya udah. Gue pulang dulu ya. Tante Mia udah nungguin gue dirumah. Hhehe..” pamit Ribas. Seperti biasanya, Ribas mengecup kening Deta lembut.
“Ati-ati,” ucap Deta pelan namun terdengar jelas di telinga Ribas. Ribas memacu motornya dan menghilang di gelapnya malam.